BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah
al-Qur’an, hadis Nabi saw., memiliki fungsi strategis dalam kajian-kajian
keislaman. Namun karena pembukuan hadis baru dilakukan dalam rentan waktu yang
cukup lama sejak meninggalnya Nabi saw., ditambah kenyataan sejarah bahwa hadis
pernah dipalsukan dengan berbagai motif, maka orisinalitas hadis yang beredar
di kalangan umat Islam patut diteliti. Di sisi lain, kenyataan sejarah tersebut
juga sering dijadikan celah dan startingpoint
oleh musuh-musuh Islam untuk merongrong akidah umat supaya mau berpaling
dari hadis Nabi saw., lebih-lebih diketahui bahwa lingkungan Nabi saw., hidup
ketika itu kurang akrab dengan budaya tulis-menulis. Oleh karena itu, keabsahan
dan orisinalitas hadis yang ada memang harus diteliti.
Para ulama, sejak masa-masa awal Islam telah
menunjukkan dedikasi untuk melakukan penelitian dan seleksi ketat terhadap
hadis-hadis Nabi saw. Hal itu dimaksudkan untuk melestarikan hadis Nabi saw.,
sebagai sumber ajaran agama yang orisinal. Untuk tujuan mulia itu, mereka
kemudian menciptakan seperangkat kaidah, istilah, norma dan metode.
Kaidah-kaidah itu, kemudian karena pertimbangan kebutuhan, lantas dibakukan
oleh ulama belakangan, baik yang berhubungan dengan sanad maupun matan hadis.
Tanpa pemahaman yang paripurna terhadap kaidah, norma dan metode tersebut,
sulit bagi seseorang untuk mengetahui orisinalitas dan keabsahan hadis Nabi
saw.
Sekalipun demikian, pemahaman terhadap berbagai
istilah dan kaidah itu tampaknya juga belum menjamin para pengkaji hadis akan
mampu meneliti dan memahami hadis secara benar. Dinyatakan demikian, karena
kompleksitas permasalahannya memang sangat beragam. Untuk menghindari kesalahan
dalam meneliti dan memahami hadis, maka ulama hadis, sesuai dengan keahlian masing-masing, kemudian juga
menciptakan seperangkat ilmu. Cabang-cabang pengetahuan itu ada yang
berhubungan dengan sanad, ada yang berhubungan dengan matan, dan ada yang
berhubungan dengan sanad dan matan.Karena berbagai istilah, kaidah dan cabang
pengetahuan yang berkaitan dengan hadis begitu banyak, maka dengan sendirinya
jumlah dan jenis kitab yang membahas hadis Nabi saw., juga begitu banyak.
B. Rumusan
Masalah
1. Apakah
Pengertian Ilmu Hadis Riwayah dan Dirayah?
2. Bagaimanakah
Objek Kajian Ilmu Hadis Riwayah dan Dirayah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ilmu Hadis Riwayah dan Dirayah
1. Ilmu Hadis Riwayah
Sejarah panjang ilmu kritik hadits
sejak lahirnya hingga sekarang bisa dibagi menjadi dua fase (marhalah) besar.[1]
Fase pertama disebut dengan masa riwayah. Setiap hadis pada masa ini
diriwayatkan dengan sanad tersendiri yang menghubungkan penuturnya dengan
pemilik perkataan tersebut (Nabi Saw, sahabat, atau tabiin) dengan untaian
nama-nama perawi yang disebut sanad. Di masa yang berakhir kira-kira abad
keempat/kelima hijriah ini, sanad merupakan tulang punggung yang menentukan
validitas sebuah riwayat sehingga menjadi bagian penting dari agama.[2]
Pada perkembangan selanjutnya, Ulama Mutaakhirin,
membagi Ilmu Hadis ini dipecah menjadi dua, yaitu Ilmu Hadis Riwayah dan Ilmu
Hadis Dirayah. Mereka memasukkan pengertian yang diajukan oleh Ulama Mutaqaddim
ke dalam pengertian Ilmu Hadis Dirayah.[3]
Menurut Ibn al-Akfani, sebagaimana yang dikutip oleh al-Suyuthi,
bahwa yang dimaksud dengan ilmu hadits Riwayah adalah “Ilmu hadis yang khusus
berhubungan dengan riwayah adalah ilmu yang meliputi pemindahan (periwayatan)
perkataan Nabi SAW dan perbuatannya, dan penguraian lafaz-lafaznya”.[4]
Ada juga mendefinisikan Ilmu Hadis Riwayah, ialah:
“Ilmu pengetahuan yang mempelajari hadis-hadis yang disandarkan kepada Nabi
SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabi’at maupun tingkah lakunya”.[5]
Menurut Nurdin ‘Itr Ilmu hadis riwayah ialah ilmu yang
pembahasannya meliputi perkataan, perbuatan, taqrir, dan sifat-sifat Nabi saw.,
Periwayatannya, pencatatannya dan penelitian lafal-lafalnnya, serta dari para
sahabat dan tabi’in.[6]
Dari kedua definisi di
atas dapat di pahami bahwa Ilmu Hadis Riwayah adalah membahas tentang tata cara
periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan hadits Nabi saw.
Objek pembicaraan di dalam ilmu
hadis riwayah adalah bagaimana cara menerima, menyampaikan kepada orang lain
dan memindahkan suatu hadis, Dalam menyampaikan hadis hanya dinukilkan dan
dituliskan apa adanya baik mengenai matan maupun sanadnya. Ilmu ini tidak
berkompoten membicarakan apakah matannya ada yang janggal atau ber’illat dan
apakah sanadnya itu bertali-temali satu sama lain atau terputus lebih jauh dari
hal ihwal dan sifat-sifat ra>winya, apakah mereka adil, d}a>bit atau
fasik hingga dapat memberikan pengaruh terhadap nilai suatu hadis.[7]
1)
Ruang Lingkup Ilmu Hadis Riwa>yah
Ilmu Hadis Riwayah ini sudah ada
semenjak Nabi saw masih hidup, yaitu bersamaan dengan dimulainya periwayatan
dengan hadis itu sendiri. Para Sahabat Nabi saw menaruh perhatian yang tinggi
terhadap Hadis Nabi saw. Mereka berusaha untuk memperoleh Hadis-Hadis Nabi saw
dengan cara mendatangi Majelis Rasul saw serta mendengar dan menyimak pesan
atau nasihat yang disampaikan beliau. Sedemikian besar perhatian mereka,
sehingga kadang-kadang mereka berjanji satu sama lainnya untuk bergantian
menghadiri majelis Nabi saw.
Manakala di antara mereka ada yang
sedang berhalangan. Hal tersebut seperti yang dilakukan Umar r.a., yang
menceritakan, “Aku beserta tetanggaku dari kaum Ansar, yaitu Bani Umayyah ibn
Zaid, secara bergantian menghadiri majelis Rasul saw. Apabila giliranku yang
hadir, maka aku akan menceritakan kepadanya apa yang aku dapatkan dari Rasul
SAW pada hari itu; dan sebaliknya, apabila giliran dia yang hadir, maka dia pun
akan melakukan hal yang sama.[8]
2)
Objek pembahasan Ilmu Hadis Riwayah
Ada beberapa objek pembahasan yang mencakup tentang Ilmu Hadis
Riwayah, diantaranya:
a.
Hadis Riwayah bi-al-Laf\zi.
Hadis riwa>yah bi al-Lafz\i>
yaitu memindahkan kata-kata Nabi saw. sesuai dengan aslinya.[9] Para sahabat menerima perkataan
Nabi dan tidak meriwayatkan kepada orang lain setelah menelaah huruf demi
hurufnya dan memahami maknanya dan mereka tidak merubah sedikitpun atau
memalingkan yang didengarnya dari Nabi saw.Adanya atau terbentuknya hadis riwayah
ini biasanya mereka secara fisik dekat dengan Nabi dan pertemuan terus-menerus
yang sering terjadi.
Contoh hadis riwayah bil-lafz\i.
من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من
النار
Artinya:
“Barangsiapa
berdusta atas namaku dengan sengaja, maka bersiaplah menempati posisinya di
neraka”.
b. Hadis
Riwa>yah bi al-Ma‘na.
Hadis riwa>yah bi al-Ma‘na adalah
meriwayatkan dengan hadis yang berbeda tetapi sesuai dengan yang dimaksud Nabi
dengan kasus yang sama, tentunya redaksi yang berbeda ini membutuhkan sejumlah
syarat yang ketat.[10]
Bisa juga di artikan dengan hadis yang diriwayatkan dengan makna yang sama dan
kasus yang sama dengan menggunakan lafaz dari perawinya masing-masing.[11]
Perlu diketahui bahwa banyak
penyebaran hadis dengan menggunakan makna dan tidak mengikuti berdasarkan
lafaz. Hal ini disebabkan karena banyaknya para sahabat ataupun kaum tabi’in
yang menyebarkan hadis. Sahabat pernah mendengar Ibnu Sirri>n membaca sepuluh
hadis yang maknanya hanya satu tetapi lafaznya berbeda-beda, begitu pula
sahabat /meriwayatkan hadis dengan lafaz yang berbeda, karena ada diantara
mereka meriwayatkan hadis dengan sempruna, ada pula yang meriwayatkan dengan
maknanya dan ada pula yang meringkas serta ada yang merubah antara dua lafaz
dan memandangnya secara luas jika maknanya tidak berbeda dan mereka juga tidak
dikategorikan sebagai pembohong.
Contoh riwayat bi al Ma’na
من شهد أن لا إله إلا الله و أنّ محمدا
رسول الله حرّم الله عليه النار[12]
Artinya:
“Barangsiapa
bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah Rasul
Allah, niscaya Allah mengharamkan baginya masuk neraka.”
Hadis mengenai
dua kalimat syahadat ini jumlahnya banyak walaupun dengan susunan redaksi bermacam-macam,
namun maknanya sama. Berikut ini salah satunya hadis yang bersumber dari Anas
bin Ma>lik, nabi SAW bersabda:
ما من أحدٍ يشهد أن لا إله إلا الله
وأنّ محمدا رسول الله صدقا من قلبه إلاّ حرّمه الله على النار[13]
Artinya:
“Tiada
seorangpun yang telah bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya
Muhammad adalah Rasul Allah secara tulus dari hatinya, kecuali Allah akan mengharamkan
baginya masuk neraka”.
2.
Ilmu Hadis Dirayah
Setiap pencari hadis pada fase riwayah memulai
studinya dengan mendatangi majlis seorang syeikh di kotanya, lalu mendengar dan
mencatat hadis-hadis yang diriwayatkan sambil menghafal dan mengenali
perawi-perawi yang namanya tercantum di dalam sanad. Semakin banyak jumlah
hadits yang ia kumpulkan semakin besar peluangnya untuk mengkaji hadits dengan
lebih baik, oleh karena itu al-Rihlah fi T{ala>b al-'Ilm (belajar ke luar
negeri) sangat dianjurkan bahkan sebuah keharusan. Al-Khalil bin Ahmad (w. 160
H) berkata, “Seseorang tidak mengetahui kekeliruan gurunya sebelum ia belajar
dari orang lain.”[14] Ali bin
Al-Madini (w. 234 H) berkata, “Sebuah hadis jika tidak dikumpulkan semua jalur
periwayatannya tidak akan diketahui illah-nya.”[15] Praktek
riwayah ini akan membuat pelajar hadis itu mengerti dengan sendirinya
sifat-sifat hadis yang harus diterima atau ditolak serta memahami
istilah-istilah ilmiah yang digunakan ahli hadis. Singkat kata, pada fase ini
praktek riwayah membawa kepada pemahaman dirayah.
Menurut Subhi Salih Ilmu Hadis Dirayah ialah
pembahasan masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan yang diriwayatkan, untuk
mengetahui apakah bisa diterima atau ditolak.[16]
Kemudian menurut al-Ima>m Jalaluddin
‘Abdurrahman al-Suyuti (1505M) Ilmu Hadis Dirayah ialah ilmu yang mempelajari
hakikat periwayatan, Syarat-Syaratnya, Macam-macamnya, dan keadaan para
periwayatnya, syarat-syarat mereka, bagian-bagian periwayatan, dan yang terkait
dengannya.[17]
1)
Ilmu Hadis Dirayah membahas
tentang:
a.
Hakekat periwayatan,
yaitu proses penerimaan dan penyampaian hadis serta penyandaran hadis itu kepada
rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. Kegiatan yang
berkenaan seluk beluk penerimaan dan penyampaian hadis tersebut disebut Tah}ammul
wa al-Ada>’ al-H{adi>s\.
b.
Syarat-syarat periwayatan,
yaitu keadaan dan cara dalam proses penerimaan dan penyampaian hadis itu.
Misalnya dengan cara al-Sama>’ (menerima hadis dengan cara mendengar dari
yang didiktekan atau disampaikan oleh guru) dan macam macamnya.
c.
Macam-macam periwayatan,
yaitu periwayatan hadis bersambung sanadnya atau terputus.
d.
Hukum-hukumnya,
maksudnya apakah hadis itu diterima atau ditolak.
e.
Keadaan para
periwayatnya, maksudnya apakah adil dan dabit.
f.
Macam-macam riwayat,
maksudnya macam-macam bentuk pembukuannya, ada Musnad, Ja>mi’, Mu’jam, dan
lain-lain.
Objek pembahasan Ilmu Hadis Dirayah ialah sanad,
periwayat, dan matan. Meliputi sanadnya bersambung atau terputus, periwayatnya adil
dan dabit atau tidak, dan apakah dalam matannya ada illat atau
syaz. Adapun tujuan Ilmu Hadis Dirayah adalah untuk dapat mengetahui
kualitas hadis apakah, sahih, hasan, danda’if.[18]
2)
Cabang-Cabang Ilmu Hadis
Dirayah
Adapun cabang-cabang Ilmu Hadis Dirayah ini
terdiri dari Ilmu Jarh wa al-Ta’di>l, Ilmu Rija>l al-H{adi>s\,
Taba>qah al-Ruwah, Ghari>b al-H{adi>s\, Asba>b Wuru>d al-H{adi>s,
Tawa>rikh al-Mutun, Ilmu Nasikh wa al-Mansu>kh, Tash}if >wa
al-Tah}ri>f, dan Illa>l al-H{adi>s.[19] Diantaranya
Sejak
pertengahan abad ke-II H, Ilmu Hadis Dirayah
ini telah dibahas oleh ulama-ulama hadis, akan tetapi masih berserak-serak di berbagai
kitab. Artinya tidaklah dibahas dalam kitab yang khusus dan belum merupakan
ilmu yang sempurna dan berdiri sendiri. Diantara ulama yang terlibat dalam hal
ini ialah Ali Ibnu Madani (161-234 H), al-Bukhari (198-252 H), Muslim (204-261
H), dan al-Turmudzy (200-279 H). Ilmu ini pun kemudian disempurnakan oleh
al-Qa>d}i Abu Muhammad al-Ramahurmuzi (w. 360 H) dengan kitabnya al-Muhaddis
al-Fa>shi Baina al-Ra>wi Wa al-wa‘i>. Kemudian muncul al-Hakim Abu
Abdillah al-Naisaburi> dengan kitabnya Ma’rifah ‘Ulum al-H}adi>s. Setelah
itu muncul Abu Nu’aim Ahmad Bin Abdillah al-Asfhani dan selanjutnya dengan
al-Khatib al-Baghdadi dengan kitabnya al-Kifayah fi Qawa>nin al-Riwayah dan
al-Jami’ li Adabi al-Syaikh wa al-sama’ dan seterusnya.[20]
3.
Perbedaan Ilmu Hadis Riwayah
dan Dirayah
|
Ilmu Hadis
Riwayah
|
Tinjauan
|
IlmuHadisDirayah
|
|
Sabda,
perbuatan, taqrir, sifat, dan fisik Nabi saw. termasuk sahabat dan tabi’in
|
Objek
|
Sanad,
periwayat, dan matan
|
|
Untuk mengetahui segala sesuatu
yang berasal dari Nabi saw dan para sahabat dan tabi’in sehingga dapat memahami dan menghayati serta mengamalkannya dan memelihara kemurnian ajaran Islam
|
Tujuan
|
Untuk dapat
mengetahui kualitas hadis, mana hadis yang sahih, mana hadis yang da’if dan mana
hadis yang palsu dan macam-macamnya
|
|
Muhammad ibn Syihab al-Zuhri (51
H-124 H)
|
Pendiri
|
Ibn Muhammad al-Ramahhurmuzy (265H-360H)
|
BAB III
PENUTUP
C. Kesimpulan
1. Ilmu Hadis Riwayah ialah Ilmu hadis yang khusus berhubungan dengan Riwayah yaitu ilmu yang meliputi pemindahan
(periwayatan) perkataan Nabi SAW dan perbuatannya, dan penguraian
lafaz-lafaznya.
2. Objek
pembicaraan di dalam ilmu hadis riwayah adalah bagaimana cara menerima,
menyampaikan kepada orang lain dan memindahkan suatu hadis, Dalam menyampaikan
hadis hanya dinukilkan dan dituliskan apa adanya baik mengenai matan maupun
sanadnya.
3. Ilmu
Hadis Dirayah ialah pembahasan masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan yang
diriwayatkan, untuk mengetahui apakah bisa diterima atau ditolak.
4.
Objek pembahasan Ilmu Hadis
Dirayah ialah sanad, periwayat, dan matan. Meliputi sanadnya bersambung atau terputus,
periwayatnya adil dan dabit atau tidak, dan apakah dalam matannya
ada illat atau syaz. Adapun tujuan Ilmu Hadis Dirayah adalah untuk
dapat mengetahui kualitas hadis apakah, sahih, hasan, dan da’if.
5. Pendiri Ilmu Hadis Riwayah ialah Muhammad Syiha>b
al-Zuhri, sedangkan yang megumpulkan Ilmu Hadis Dirayah dalam bentuk mushaf ialah
ibn Muhammad al-Ramahhurmuzy.
DAFTAR PUSTAKA
‘Itr, Nurdin. Manhaj
al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadi>s. 1981. Cet. Ke-I. Damaskus: Da>r al-Fikr.
al-Hasani>,Muhammad
Ibn Ismai>l Ibn S}a>lah bin Muhammad. Taud}i>h al-Afka>r
Lima‘a>ni> Tanqih al-Naz\ar. 1997. Cet. Ke-I. Beirut: Da>r Al-Kutu>b al-‘Almiyah.
al-Ja’fi>,
Muh}ammad bin Isma>il Abu> ‘Abdu Allah al-Bukha>ri. 1987. S{ah}i>h}
al-Bukha>ri. Juz I. Cet. Ke-III. Beiru>t: Da>r ibn Kas\i>r.
Al-Khatib,
M.’Ajjaj. Ushu>l al-H{adi>s\. 1989. Juz I. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Maliyaba>ri,
Hamzah. al-Muwazanah baina al-Mutaqaddimin wa Al-Mutaakhirin fi Ta'li>l
al-Ah}a>di>s\ wa Tas}hihi>ha. 2001. Cet. Ke-II. Damaskus: Da>r
ibn Hazm.
al-Mana>r, Abduh. Pengantar
Studi H}adi>s. 2012.
Cet. Ke-I. Ciputat: Jakarta.
al-Naisabu>ri,
Muslim bin al-H{ajja>j Abu> al-H{asan al-Qusyairi>. S{ah}i>h
Muslim. 1998. Riyadh Da>r al-Sala>m.
al-Nasa>’i, Abu> ‘Abdu al-Rah}ma>n bin al-Syu’aib bin ‘Ali
al-Khurasa>ni.al-Sunan al-Kubra>. 2001.Juz IX.
Cet. Ke-I.Beiru>t: Mu’assasah al-Risa>lah.
Al-Shalah, Ibn.
‘Ulu>m al-H{adi>s\. 2002. Cet. Ke-III. Beiru>t: Da>r
al-Fikr.
al-Z|ahabi,
Muhammad bin Ahmad. Siyar A'lam Al-Nubala>’. 1996. Juz VII. Cet.
Ke-XI. Beiru>t: Mu’assah al-Risalah.
Ismail,
Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadis. 1994. Cet.
Ke-X. Bandung: PenerbitAngkasa.
Mudasuir. Ilmu Hadis. 1999. Bandung: CV Pustaka
Setia.
Rahman, Fatchur. Iktisa>r
Musthalahul H}adi>s. 1974. Cet. Ke-I. Bandung: PT al-Ma’a>rif.
S{ali>h,
Subhi. ‘Ulu>m al-H{adi>s\ wa Must}alah}uhu. terj. Membahas
Ilmu-Ilmu Hadis. 1993. Cet. Ke-I. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Sayadi, Wajidi.IlmuHadis. 2013.
Cet. Ke-I. Solo: ZadaHaniva.
Suparta,Mundzir.
Ilmu H}adi>s.
2011.
Cet. Ke-VII. Jakarta: Rajawali.
Suparta,
Munzier. Ilmu Hadis. 2002. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
[1]Hamzah Al-Maliyaba>ri, al-Muwa>zanah baina
al-Mutaqaddimin wa Al-Mutaakhirin fi Ta'li>l al-Ah}a>di>s\ wa Tas}hihi>ha.
(Cet.
II; Damaskus: Da>r ibn Hazm, 2001), h. 21.
[2]Abdullah bin Al-Mubarak berkata,
“Sanad adalah bagian dari agama. Tanpa sanad, setiap orang bisa berbicara
sembarang keinginannya.” Sufyan Al-Tsauri berkata, “Sanad adalah senjata
muslim.” Lihat Muslim bin al-H{ajja>j Abu> al-H{asan al-Qusyairi>
al-Naisabu>ri, S{ah}i>h Muslim (Beiru>t: Da>r ‘Ih}ya>’
al-Turas\ al-‘Arbi>, 1998), h. 12.
[3]Mudasuir, Ilmu Hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia,
1999), h. 41.
[4]Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, (Jakarta: PT Mutiara
Sumber Widya, 2001), h. 3.
[5]Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002), h. 24.
[6]Nurdin
‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadi>s, (Cet. I; Damaskus: Da>r
al-Fikr, 1401H./ 1981M), h. 31.
[11]Muhammad Ibn Ismai>l Ibn
S}a>lah bin Muhammad al-Hasani>,Taud}i>h al-Afka>r
Lima‘a>ni> Tanqih al-Naz\ar (Cet. I; Beirut: Da>r Al-Kutu>b
al-‘Almiyah, 1997), h. 223.
[12]Abu>
‘Abdu al-Rah}ma>n bin al-Syu’aib bin ‘Ali al-Khurasa>ni al-Nasa>’i, al-Sunan
al-Kubra>, Juz IX, (Cet. I; Beiru>t: Mu’assasah al-Risa>lah,
14421H./ 2001M), h. 414.
[13]Muh}ammad
bin Isma>il Abu> ‘Abdu Allah al-Bukha>ri al-Ja’fi>, S{ah}i>h}
al-Bukha>ri, Juz I, (Cet. III; Beiru>t: Da>r ibnKas\i>r,
1407H./ 1987M), h. 59.
[14]Muhammad bin Ahmad al-Z|ahabi,Siyar A'lam Al-Nubala>’,Juz VII,
(Cet. XI; Beiru>t: Mu’assah al-Risalah, 1996) h.431.
[16]Subhi S{ali>h, ‘Ulu>m
al-H{adi>s\ wa Must}alah}uhu, terj. MembahasIlmu-IlmuHadis, (Cet. I;
Jakarta: PustakaFirdaus, 1993), h. 101.
[17]Al-Ima>m
Jal al-Di>n ‘Abdu al-Rah}man al-Suyu>t}i, Tadri>b al-Ra>wi fi
Syarh Taqri>b al-Nawa>wi,
[18]WajidiSayadi,
IlmuHadis, (Cet. I; Solo: ZadaHaniva, 2013), h. 6-8.
[19]WajidiSayadi,
IlmuHadis, . . h. 11-13.
[20]Syuhudi
Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Cet. X; Bandung: PenerbitAngkasa, 1994),
h. 63.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar