Senin, 28 Desember 2015

ILMU HADIS RIWAYAH DAN DIRAYAH



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur’an, hadis Nabi saw., memiliki fungsi strategis dalam kajian-kajian keislaman. Namun karena pembukuan hadis baru dilakukan dalam rentan waktu yang cukup lama sejak meninggalnya Nabi saw., ditambah kenyataan sejarah bahwa hadis pernah dipalsukan dengan berbagai motif, maka orisinalitas hadis yang beredar di kalangan umat Islam patut diteliti. Di sisi lain, kenyataan sejarah tersebut juga sering dijadikan celah dan startingpoint  oleh musuh-musuh Islam untuk merongrong akidah umat supaya mau berpaling dari hadis Nabi saw., lebih-lebih diketahui bahwa lingkungan Nabi saw., hidup ketika itu kurang akrab dengan budaya tulis-menulis. Oleh karena itu, keabsahan dan orisinalitas hadis yang ada memang harus diteliti.
Para ulama, sejak masa-masa awal Islam telah menunjukkan dedikasi untuk melakukan penelitian dan seleksi ketat terhadap hadis-hadis Nabi saw. Hal itu dimaksudkan untuk melestarikan hadis Nabi saw., sebagai sumber ajaran agama yang orisinal. Untuk tujuan mulia itu, mereka kemudian menciptakan seperangkat kaidah, istilah, norma dan metode. Kaidah-kaidah itu, kemudian karena pertimbangan kebutuhan, lantas dibakukan oleh ulama belakangan, baik yang berhubungan dengan sanad maupun matan hadis. Tanpa pemahaman yang paripurna terhadap kaidah, norma dan metode tersebut, sulit bagi seseorang untuk mengetahui orisinalitas dan keabsahan hadis Nabi saw.
Sekalipun demikian, pemahaman terhadap berbagai istilah dan kaidah itu tampaknya juga belum menjamin para pengkaji hadis akan mampu meneliti dan memahami hadis secara benar. Dinyatakan demikian, karena kompleksitas permasalahannya memang sangat beragam. Untuk menghindari kesalahan dalam meneliti dan memahami hadis, maka ulama hadis, sesuai  dengan keahlian masing-masing, kemudian juga menciptakan seperangkat ilmu. Cabang-cabang pengetahuan itu ada yang berhubungan dengan sanad, ada yang berhubungan dengan matan, dan ada yang berhubungan dengan sanad dan matan.Karena berbagai istilah, kaidah dan cabang pengetahuan yang berkaitan dengan hadis begitu banyak, maka dengan sendirinya jumlah dan jenis kitab yang membahas hadis Nabi saw., juga begitu banyak.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah Pengertian Ilmu Hadis Riwayah dan Dirayah?
2.      Bagaimanakah Objek Kajian Ilmu Hadis Riwayah dan Dirayah?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Ilmu Hadis Riwayah dan Dirayah
1.      Ilmu Hadis Riwayah
          Sejarah panjang ilmu kritik hadits sejak lahirnya hingga sekarang bisa dibagi menjadi dua fase (marhalah) besar.[1] Fase pertama disebut dengan masa riwayah. Setiap hadis pada masa ini diriwayatkan dengan sanad tersendiri yang menghubungkan penuturnya dengan pemilik perkataan tersebut (Nabi Saw, sahabat, atau tabiin) dengan untaian nama-nama perawi yang disebut sanad. Di masa yang berakhir kira-kira abad keempat/kelima hijriah ini, sanad merupakan tulang punggung yang menentukan validitas sebuah riwayat sehingga menjadi bagian penting dari agama.[2]
Pada perkembangan selanjutnya, Ulama Mutaakhirin, membagi Ilmu Hadis ini dipecah menjadi dua, yaitu Ilmu Hadis Riwayah dan Ilmu Hadis Dirayah. Mereka memasukkan pengertian yang diajukan oleh Ulama Mutaqaddim ke dalam pengertian Ilmu Hadis Dirayah.[3]
Menurut Ibn al-Akfani, sebagaimana yang dikutip oleh al-Suyuthi, bahwa yang dimaksud dengan ilmu hadits Riwayah adalah “Ilmu hadis yang khusus berhubungan dengan riwayah adalah ilmu yang meliputi pemindahan (periwayatan) perkataan Nabi SAW dan perbuatannya, dan penguraian lafaz-lafaznya”.[4]
Ada juga mendefinisikan Ilmu Hadis Riwayah, ialah: “Ilmu pengetahuan yang mempelajari hadis-hadis yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabi’at maupun tingkah lakunya”.[5]
Menurut Nurdin ‘Itr Ilmu hadis riwayah ialah ilmu yang pembahasannya meliputi perkataan, perbuatan, taqrir, dan sifat-sifat Nabi saw., Periwayatannya, pencatatannya dan penelitian lafal-lafalnnya, serta dari para sahabat dan tabi’in.[6]
Dari kedua definisi di atas dapat di pahami bahwa Ilmu Hadis Riwayah adalah membahas tentang tata cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan hadits Nabi saw.
Objek pembicaraan di dalam ilmu hadis riwayah adalah bagaimana cara menerima, menyampaikan kepada orang lain dan memindahkan suatu hadis, Dalam menyampaikan hadis hanya dinukilkan dan dituliskan apa adanya baik mengenai matan maupun sanadnya. Ilmu ini tidak berkompoten membicarakan apakah matannya ada yang janggal atau ber’illat dan apakah sanadnya itu bertali-temali satu sama lain atau terputus lebih jauh dari hal ihwal dan sifat-sifat ra>winya, apakah mereka adil, d}a>bit atau fasik hingga dapat memberikan pengaruh terhadap nilai suatu hadis.[7]
1)      Ruang Lingkup Ilmu Hadis Riwa>yah
Ilmu Hadis Riwayah ini sudah ada semenjak Nabi saw masih hidup, yaitu bersamaan dengan dimulainya periwayatan dengan hadis itu sendiri. Para Sahabat Nabi saw menaruh perhatian yang tinggi terhadap Hadis Nabi saw. Mereka berusaha untuk memperoleh Hadis-Hadis Nabi saw dengan cara mendatangi Majelis Rasul saw serta mendengar dan menyimak pesan atau nasihat yang disampaikan beliau. Sedemikian besar perhatian mereka, sehingga kadang-kadang mereka berjanji satu sama lainnya untuk bergantian menghadiri majelis Nabi saw.
Manakala di antara mereka ada yang sedang berhalangan. Hal tersebut seperti yang dilakukan Umar r.a., yang menceritakan, “Aku beserta tetanggaku dari kaum Ansar, yaitu Bani Umayyah ibn Zaid, secara bergantian menghadiri majelis Rasul saw. Apabila giliranku yang hadir, maka aku akan menceritakan kepadanya apa yang aku dapatkan dari Rasul SAW pada hari itu; dan sebaliknya, apabila giliran dia yang hadir, maka dia pun akan melakukan hal yang sama.[8]
2)      Objek pembahasan Ilmu Hadis Riwayah
Ada beberapa objek pembahasan yang mencakup tentang Ilmu Hadis Riwayah, diantaranya:
a.    Hadis Riwayah bi-al-Laf\zi.
Hadis riwa>yah bi al-Lafz\i> yaitu memindahkan kata-kata Nabi saw. sesuai dengan aslinya.[9] Para sahabat menerima perkataan Nabi dan tidak meriwayatkan kepada orang lain setelah menelaah huruf demi hurufnya dan memahami maknanya dan mereka tidak merubah sedikitpun atau memalingkan yang didengarnya dari Nabi saw.Adanya atau terbentuknya hadis riwayah ini biasanya mereka secara fisik dekat dengan Nabi dan pertemuan terus-menerus yang sering terjadi.
Contoh hadis riwayah bil-lafz\i.
من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
Artinya:
            “Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka bersiaplah menempati posisinya di neraka”.
b.  Hadis Riwa>yah bi al-Ma‘na.
Hadis riwa>yah bi al-Ma‘na adalah meriwayatkan dengan hadis yang berbeda tetapi sesuai dengan yang dimaksud Nabi dengan kasus yang sama, tentunya redaksi yang berbeda ini membutuhkan sejumlah syarat yang ketat.[10] Bisa juga di artikan dengan hadis yang diriwayatkan dengan makna yang sama dan kasus yang sama dengan menggunakan lafaz dari perawinya masing-masing.[11]
Perlu diketahui bahwa banyak penyebaran hadis dengan menggunakan makna dan tidak mengikuti berdasarkan lafaz. Hal ini disebabkan karena banyaknya para sahabat ataupun kaum tabi’in yang menyebarkan hadis. Sahabat pernah mendengar Ibnu Sirri>n membaca sepuluh hadis yang maknanya hanya satu tetapi lafaznya berbeda-beda, begitu pula sahabat /meriwayatkan hadis dengan lafaz yang berbeda, karena ada diantara mereka meriwayatkan hadis dengan sempruna, ada pula yang meriwayatkan dengan maknanya dan ada pula yang meringkas serta ada yang merubah antara dua lafaz dan memandangnya secara luas jika maknanya tidak berbeda dan mereka juga tidak dikategorikan sebagai pembohong.
Contoh riwayat bi al Ma’na
من شهد أن لا إله إلا الله و أنّ محمدا رسول الله حرّم الله عليه النار[12]
Artinya:
            “Barangsiapa bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah Rasul Allah, niscaya Allah mengharamkan baginya masuk neraka.”
Hadis mengenai dua kalimat syahadat ini jumlahnya banyak walaupun dengan susunan redaksi bermacam-macam, namun maknanya sama. Berikut ini salah satunya hadis yang bersumber dari Anas bin Ma>lik, nabi SAW bersabda:
ما من أحدٍ يشهد أن لا إله إلا الله وأنّ محمدا رسول الله صدقا من قلبه إلاّ حرّمه الله على النار[13]
Artinya:
            “Tiada seorangpun yang telah bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah secara tulus dari hatinya, kecuali Allah akan mengharamkan baginya masuk neraka”.
2.      Ilmu Hadis Dirayah
Setiap pencari hadis pada fase riwayah memulai studinya dengan mendatangi majlis seorang syeikh di kotanya, lalu mendengar dan mencatat hadis-hadis yang diriwayatkan sambil menghafal dan mengenali perawi-perawi yang namanya tercantum di dalam sanad. Semakin banyak jumlah hadits yang ia kumpulkan semakin besar peluangnya untuk mengkaji hadits dengan lebih baik, oleh karena itu al-Rihlah fi T{ala>b al-'Ilm (belajar ke luar negeri) sangat dianjurkan bahkan sebuah keharusan. Al-Khalil bin Ahmad (w. 160 H) berkata, “Seseorang tidak mengetahui kekeliruan gurunya sebelum ia belajar dari orang lain.”[14] Ali bin Al-Madini (w. 234 H) berkata, “Sebuah hadis jika tidak dikumpulkan semua jalur periwayatannya tidak akan diketahui illah-nya.”[15] Praktek riwayah ini akan membuat pelajar hadis itu mengerti dengan sendirinya sifat-sifat hadis yang harus diterima atau ditolak serta memahami istilah-istilah ilmiah yang digunakan ahli hadis. Singkat kata, pada fase ini praktek riwayah membawa kepada pemahaman dirayah.
Menurut Subhi Salih Ilmu Hadis Dirayah ialah pembahasan masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan yang diriwayatkan, untuk mengetahui apakah bisa diterima atau ditolak.[16]
Kemudian menurut al-Ima>m Jalaluddin ‘Abdurrahman al-Suyuti (1505M) Ilmu Hadis Dirayah ialah ilmu yang mempelajari hakikat periwayatan, Syarat-Syaratnya, Macam-macamnya, dan keadaan para periwayatnya, syarat-syarat mereka, bagian-bagian periwayatan, dan yang terkait dengannya.[17]
1)      Ilmu Hadis Dirayah membahas tentang:
a.       Hakekat periwayatan, yaitu proses penerimaan dan penyampaian hadis serta penyandaran hadis itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. Kegiatan yang berkenaan seluk beluk penerimaan dan penyampaian hadis tersebut disebut Tah}ammul wa al-Ada>’ al-H{adi>s\.
b.      Syarat-syarat periwayatan, yaitu keadaan dan cara dalam proses penerimaan dan penyampaian hadis itu. Misalnya dengan cara al-Sama>’ (menerima hadis dengan cara mendengar dari yang didiktekan atau disampaikan oleh guru) dan macam macamnya.
c.       Macam-macam periwayatan, yaitu periwayatan hadis bersambung sanadnya atau terputus.
d.      Hukum-hukumnya, maksudnya apakah hadis itu diterima atau ditolak.
e.       Keadaan para periwayatnya, maksudnya apakah adil dan dabit.
f.        Macam-macam riwayat, maksudnya macam-macam bentuk pembukuannya, ada Musnad, Ja>mi’, Mu’jam, dan lain-lain.
Objek pembahasan Ilmu Hadis Dirayah ialah sanad, periwayat, dan matan. Meliputi sanadnya bersambung atau terputus, periwayatnya adil dan dabit atau tidak, dan apakah dalam matannya ada illat atau syaz. Adapun tujuan Ilmu Hadis Dirayah adalah untuk dapat mengetahui kualitas hadis apakah, sahih, hasan, danda’if.[18]
2)      Cabang-Cabang Ilmu Hadis Dirayah
Adapun cabang-cabang Ilmu Hadis Dirayah ini terdiri dari Ilmu Jarh wa al-Ta’di>l, Ilmu Rija>l al-H{adi>s\, Taba>qah al-Ruwah, Ghari>b al-H{adi>s\, Asba>b Wuru>d al-H{adi>s, Tawa>rikh al-Mutun, Ilmu Nasikh wa al-Mansu>kh, Tash}if >wa al-Tah}ri>f, dan Illa>l al-H{adi>s.[19] Diantaranya Sejak pertengahan abad ke-II H, Ilmu Hadis Dirayah ini telah dibahas oleh ulama-ulama hadis, akan tetapi masih berserak-serak di berbagai kitab. Artinya tidaklah dibahas dalam kitab yang khusus dan belum merupakan ilmu yang sempurna dan berdiri sendiri. Diantara ulama yang terlibat dalam hal ini ialah Ali Ibnu Madani (161-234 H), al-Bukhari (198-252 H), Muslim (204-261 H), dan al-Turmudzy (200-279 H). Ilmu ini pun kemudian disempurnakan oleh al-Qa>d}i Abu Muhammad al-Ramahurmuzi (w. 360 H) dengan kitabnya al-Muhaddis al-Fa>shi Baina al-Ra>wi Wa al-wa‘i>. Kemudian muncul al-Hakim Abu Abdillah al-Naisaburi> dengan kitabnya Ma’rifah ‘Ulum al-H}adi>s. Setelah itu muncul Abu Nu’aim Ahmad Bin Abdillah al-Asfhani dan selanjutnya dengan al-Khatib al-Baghdadi dengan kitabnya al-Kifayah fi Qawa>nin al-Riwayah dan al-Jami’ li Adabi al-Syaikh wa al-sama’ dan seterusnya.[20]
3.      Perbedaan Ilmu Hadis Riwayah dan Dirayah
Ilmu Hadis Riwayah
Tinjauan
IlmuHadisDirayah
Sabda, perbuatan, taqrir, sifat, dan fisik Nabi saw. termasuk sahabat dan tabi’in
Objek
Sanad, periwayat, dan matan
Untuk mengetahui segala sesuatu yang berasal dari Nabi saw dan para sahabat dan tabi’in sehingga dapat memahami dan menghayati serta mengamalkannya dan memelihara kemurnian ajaran Islam
Tujuan
Untuk dapat mengetahui kualitas hadis, mana hadis yang sahih, mana hadis yang da’if dan mana hadis yang palsu dan macam-macamnya

Muhammad ibn Syihab al-Zuhri (51 H-124 H)
Pendiri
Ibn Muhammad al-Ramahhurmuzy (265H-360H)

BAB III
PENUTUP
C.     Kesimpulan
1.      Ilmu Hadis Riwayah ialah Ilmu hadis yang khusus berhubungan dengan Riwayah yaitu ilmu yang meliputi pemindahan (periwayatan) perkataan Nabi SAW dan perbuatannya, dan penguraian lafaz-lafaznya.
2.      Objek pembicaraan di dalam ilmu hadis riwayah adalah bagaimana cara menerima, menyampaikan kepada orang lain dan memindahkan suatu hadis, Dalam menyampaikan hadis hanya dinukilkan dan dituliskan apa adanya baik mengenai matan maupun sanadnya.
3.      Ilmu Hadis Dirayah ialah pembahasan masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan yang diriwayatkan, untuk mengetahui apakah bisa diterima atau ditolak.
4.      Objek pembahasan Ilmu Hadis Dirayah ialah sanad, periwayat, dan matan. Meliputi sanadnya bersambung atau terputus, periwayatnya adil dan dabit atau tidak, dan apakah dalam matannya ada illat atau syaz. Adapun tujuan Ilmu Hadis Dirayah adalah untuk dapat mengetahui kualitas hadis apakah, sahih, hasan, dan da’if.
5.      Pendiri Ilmu Hadis Riwayah ialah Muhammad Syiha>b al-Zuhri, sedangkan yang megumpulkan Ilmu Hadis Dirayah dalam bentuk mushaf ialah ibn Muhammad al-Ramahhurmuzy.


DAFTAR PUSTAKA

‘Itr, Nurdin. Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadi>s. 1981. Cet. Ke-I. Damaskus: Da>r al-Fikr.
al-Hasani>,Muhammad Ibn Ismai>l Ibn S}a>lah bin Muhammad. Taud}i>h al-Afka>r Lima‘a>ni> Tanqih al-Naz\ar. 1997. Cet. Ke-I.  Beirut: Da>r Al-Kutu>b al-‘Almiyah.
al-Ja’fi>, Muh}ammad bin Isma>il Abu> ‘Abdu Allah al-Bukha>ri. 1987. S{ah}i>h} al-Bukha>ri. Juz I. Cet. Ke-III. Beiru>t: Da>r ibn Kas\i>r.
Al-Khatib, M.’Ajjaj. Ushu>l al-H{adi>s\. 1989. Juz I. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Maliyaba>ri, Hamzah. al-Muwazanah baina al-Mutaqaddimin wa Al-Mutaakhirin fi Ta'li>l al-Ah}a>di>s\ wa Tas}hihi>ha. 2001. Cet. Ke-II. Damaskus: Da>r ibn Hazm.
al-Mana>r, Abduh. Pengantar Studi H}adi>s. 2012. Cet. Ke-I. Ciputat: Jakarta.
al-Naisabu>ri, Muslim bin al-H{ajja>j Abu> al-H{asan al-Qusyairi>. S{ah}i>h Muslim. 1998. Riyadh Da>r al-Sala>m.
al-Nasa>’i, Abu> ‘Abdu al-Rah}ma>n bin al-Syu’aib bin ‘Ali al-Khurasa>ni.al-Sunan al-Kubra>. 2001.Juz IX. Cet. Ke-I.Beiru>t: Mu’assasah al-Risa>lah.
Al-Shalah, Ibn. ‘Ulu>m al-H{adi>s\. 2002. Cet. Ke-III. Beiru>t: Da>r al-Fikr.
al-Z|ahabi, Muhammad bin Ahmad. Siyar A'lam Al-Nubala>’. 1996. Juz VII. Cet. Ke-XI. Beiru>t: Mu’assah al-Risalah.
Ismail, Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadis. 1994. Cet. Ke-X. Bandung: PenerbitAngkasa.
Mudasuir. Ilmu Hadis. 1999. Bandung: CV Pustaka Setia.
Rahman, Fatchur. Iktisa>r Musthalahul H}adi>s. 1974. Cet. Ke-I. Bandung: PT al-Ma’a>rif.
S{ali>h, Subhi. ‘Ulu>m al-H{adi>s\ wa Must}alah}uhu. terj. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis. 1993. Cet. Ke-I. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Sayadi, Wajidi.IlmuHadis. 2013. Cet. Ke-I. Solo: ZadaHaniva.
Suparta,Mundzir. Ilmu H}adi>s. 2011. Cet. Ke-VII. Jakarta: Rajawali.
Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. 2002. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Yuslem, Nawir. Ulumul Hadits. 2001. Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya.


[1]Hamzah Al-Maliyaba>ri, al-Muwa>zanah baina al-Mutaqaddimin wa Al-Mutaakhirin fi Ta'li>l al-Ah}a>di>s\ wa Tas}hihi>ha. (Cet. II; Damaskus: Da>r ibn Hazm, 2001), h. 21.
[2]Abdullah bin Al-Mubarak berkata, “Sanad adalah bagian dari agama. Tanpa sanad, setiap orang bisa berbicara sembarang keinginannya.” Sufyan Al-Tsauri berkata, “Sanad adalah senjata muslim.” Lihat Muslim bin al-H{ajja>j Abu> al-H{asan al-Qusyairi> al-Naisabu>ri, S{ah}i>h Muslim (Beiru>t: Da>r ‘Ih}ya>’ al-Turas\ al-‘Arbi>, 1998), h. 12.
[3]Mudasuir, Ilmu Hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), h. 41.
[4]Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, (Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya, 2001), h. 3.
[5]Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 24.
[6]Nurdin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadi>s, (Cet. I; Damaskus: Da>r al-Fikr, 1401H./ 1981M), h. 31.
[7]Fatchur Rahman, Iktisa>r Musthalahul H}adi>s  (Cet. I; Bandung: PT al-Ma’a>rif, 1974), h. 74.
[8]M.’Ajjaj al-Khatib, Ushu>l al-H{adi>s\,Juz I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h.7.
[9]Abduh al-Mana>r, Pengantar Studi H}adi>s,  (Cet. I; Ciputat: Jakarta, 2012), h. 67.
[10]Mundzir Suparta,Ilmu H}adi>s(Cet. VII ;Jakarta: Rajawali, 2011), h. 68.
[11]Muhammad Ibn Ismai>l Ibn S}a>lah bin Muhammad al-Hasani>,Taud}i>h al-Afka>r Lima‘a>ni> Tanqih al-Naz\ar (Cet. I; Beirut: Da>r Al-Kutu>b al-‘Almiyah, 1997), h. 223.
[12]Abu> ‘Abdu al-Rah}ma>n bin al-Syu’aib bin ‘Ali al-Khurasa>ni al-Nasa>’i, al-Sunan al-Kubra>, Juz IX, (Cet. I; Beiru>t: Mu’assasah al-Risa>lah, 14421H./ 2001M), h. 414.
[13]Muh}ammad bin Isma>il Abu> ‘Abdu Allah al-Bukha>ri al-Ja’fi>, S{ah}i>h} al-Bukha>ri, Juz I, (Cet. III; Beiru>t: Da>r ibnKas\i>r, 1407H./ 1987M), h. 59.
[14]Muhammad bin Ahmad al-Z|ahabi,Siyar A'lam Al-Nubala>’,Juz VII, (Cet. XI; Beiru>t: Muassah al-Risalah, 1996) h.431.
[15]Ibn Al-Shalah, ‘Ulu>m al-H{adi>s\, (Cet. III; Beiru>t: Da>r al-Fikr, 2002), h. 91.
[16]Subhi S{ali>h, ‘Ulu>m al-H{adi>s\ wa Must}alah}uhu, terj. MembahasIlmu-IlmuHadis, (Cet. I; Jakarta: PustakaFirdaus, 1993), h. 101.
[17]Al-Ima>m Jal al-Di>n ‘Abdu al-Rah}man al-Suyu>t}i, Tadri>b al-Ra>wi fi Syarh Taqri>b al-Nawa>wi,
[18]WajidiSayadi, IlmuHadis, (Cet. I; Solo: ZadaHaniva, 2013), h. 6-8.
[19]WajidiSayadi, IlmuHadis, . . h. 11-13.
[20]Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Cet. X; Bandung: PenerbitAngkasa, 1994), h. 63.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *